Gereja dan Kesehatan Mental


Oleh : Dr. Julianto Simanjuntak 

Pelayanan spiritual modern di bidang konseling dan pendidikan lahir karena penderitaan dan perjuangan pribadi seorang pendeta dengan penyakit mental yang berat, Rev. Anton Boisen. 

Kisah hidup Boisen-lah yang melahirkan Pendidikan Pastoral Klinis (Clinical Pastoral Education, disingkat CPE). Penyakit Boisen yang depresif dan permanen selama belasan tahun membuatnya dirumahsakitkan, karena ia tidak lagi mampu melakukan fungsinya secara memadai tanpa pengobatan.

Dalam suatu kali perawatan kejiwaannya, Boisen dikejutkan oleh kehadiran sebuah simbol religius di jendela kamarnya pada suatu malam. Ia melihat sebuah salib Kristen pada bulan purnama. 

Saat ia terbaring di di tempat tidurnya dan menatap keluar jendela, ia mulai memformulasikan keyakinannya bahwa semua penyakit secara mendasar adalah sebuah masalah spiritual. Ia akhirnya berkeyakinan bahwa percakapan yang kondusif dengan seorang penolong akan menyembuhkan orang yang menderita. 

                        Iklan; dijual rumah 
                      di Griya Kencana 3G/5
                      Mojosarirejo driyorejo
            Minat Hubungi nonhp tertera dibawah

Setelah Boisen sembuh, ia menjadi sadar minimnya perhatian gereja saat itu untuk konseling, terutama bagi orang seperti dirinya. Juga minimnya konselor terlatih di gereja. Penderitaan Pendeta Boisen karena penyakit psikosis yakni skizofrenia membuatnya berempati besar terhadap orang sakit jiwa

Setelah sembuh Pdt. Boisen mengkritisi gereja dan berkata,

“Kalau orang Kristen patah kaki, banyak rumah sakit Kristen di seluruh negara bagian yang merawatnya, bahkan dengan biaya gereja. Tetapi kalau orang Kristen “patah hati”, maka dia dikirim ke rumah sakit mental pemerintah. Di sana dia dilupakan untuk selamanya.”
 
Sejak saat itu terjadilah revolusi perhatian gereja di bidang kesehatan mental dan konseling. Berdirilah pusat-pusat konseling dan sekolah dengan kurikulum konseling yang memadai. Konseling diintegrasikan ke dalam pelayanan gereja dan pendidikan. Boisen sendiri akhirnya mengkhususkan diri melatih para konselor dan mahasiswanya agar mampu melayani orang menderita dengan skill yang baik.

Kejeniusan Boisen adalah menggunakan penderitaannya menjadi sumber pembaharuan bagi orang lain. Tak diduga, itu akhirnya menjadi formula ajaib untuk menyembuhkan penderitaan dunia. 

Dia mentransformasikan situasi yang penuh keputusasaan menjadi situasi penuh harapan. Clinical Pastoral Education (CPE) yang dipelopori Boisen menjadi model pembelajaran konseling penting di seluruh dunia.

Dalam konteks global kita sekarang ini, gereja dan masyarakat makin membutuhkan konselor terlatih. Dunia kita dan dunia anak-cucu kita kelak adalah dunia yang kompleks dan semakin sakit. Tidak ada cara tunggal untuk mengatasi kesulitan hidup. Kita harus kerjasama mengatasi penderitaan manusia yang makin kompleks. Kami mengundang Anda semua untuk bergabung dalam tugas yang mahapenting ini. 

Konseling adalah semacam pelayanan “purna jual” bagi anggota jemaat yang hidupnya rusak karena berbagai pergumulan hidup. Seharusnya, gerejalah yang mengakomodasikan kebutuhan ini. 

Seharusnya tiap gereja (paling tidak, di tingkat regional), memiliki satu pusat konseling, tempat yang nyaman dan aman bagi anggota jemaat menyampaikan pergumulan hidupnya yang terdalam kepada konselor gerejanya dengan tenaga Konselor terlatih

Gereja, Pelopor Kesehatan Mental Masyarakat

Dalam sejarah hubungan agama dan kesehatan, Paul Tournier_ pernah berkata bahwa pengobatan adalah juga pelayanan. Bahkan pengobatan itu tidak hanya melayani individu tetapi juga seluruh masyarakat. Bagi Tournier pelayanan kesembuhan merupakan satu tanda anugerah Allah bagi kehidupan manusia. Menurutnya, tenaga medis adalah mitra kerja Allah, sebab aktivitas mereka adalah mewujudkan tanda kasih karunia Allah itu. 

Kemuliaan pelayanan Konselor dan psikolog tidak kalah mulia dari Pendeta. Ingat baik-baik, anda dan saya adalah misionaris Allah dalam bidang kesehatan mental. Hamba  Tuhan yang merawat kesehatan holistik umat

Allah tidak menghendaki manusia itu hilang, sebaliknya agar mereka mengenal Kristus dan memperoleh keselamatan. Tournier memberikan beberapa landasan Alkitab mengenai hal ini. Misalnya, perintah Yesus kepada para murid untuk melakukan pelayanan kesembuhan (Matius 10:8; 25:31-46). Yehezkiel 34:3-4 menegaskan bahwa umat Tuhan tidak hanya diminta untuk menyembuhkan yang sakit tetapi juga melindungi orang yang lemah. Terutama secara mental

Senada dengan Tournier, Barth berpendapat bahwa perhatian pada kesehatan mental menyangkut isu sosial, bukan semata-mata individual. Malony memahami kesehatan mental sebagai salah satu aspek penting dan positif dari keselamatan (salvation). Mereka yang menderita sikizofrenia sekalipun dapat percaya dan diselamatkan Tuhan. 

Karena itu, pelayanan kesehatan mental harus menjadi salah satu prioritas utama pelayanan Kristen dalam masyarakat. Kabar baik yang diberitakan oleh gereja harus mencakup kesaksian dan pelayanan di bidang kesejahteraan mental. Adakanlah Bulan kesehatah mental setiap tahun, seperti halnya Bulan Misi atau Bulan keluarga

Menurut Westberg, salah satu asumsi yang perlu diperhatikan orang Kristen sehubungan dengan panggilan pelayanan kesehatan mental adalah setiap orang telah diberikan mandat oleh Allah untuk merawat dan bertanggung jawab bagi dirinya sendiri, orang lain, dan dunia. Manusia adalah representasi Allah dalam merawat ciptaan, terutama manusia sebagai mahkota ciptaan Allah (Kejadian 1:27-28). 

Beberapa hasil penelitian di barat membuktikan, peran agama terhadap kesehatan mental sangat besar. Misalnya, beberapa penelitian yang dikumpulkan oleh Bergin_ (1983) tentang hubungan komitmen religius (khususnya intrinsik religius) dan kesehatan mental, membuktikan bahwa 47% hasilnya berkorelasi secara positif. 

Ditemukan bahwa, komitmen religius berkorelasi dengan baiknya kesehatan fisik, rendahnya angka bunuh diri, umur panjang, terhindarnya penggunaan drugs dan alkohol, terhindar dari perilaku kejahatan, kepuasan pernikahan, dan terhadap kesejahteraan hidup.

 Hasil ini seharusnya lebih memotivasi pemimpin gereja untuk mengambil peran yang lebih banyak dalam menanggulangi masalah kesehatan mental dalam masyarakat Kristen khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Cepat atau lambat, setiap kita membutuhkan Konselor, Psikolog dan Psikiater. Kalau tidak kini, ya nanti. Kalau bukan kita, ya cucu kita. Alangkah malangnya jika kita tidak menyediakan yang terbaik  bagi anak cucu kita, khususnya tenaga konselor dan ahli kesehatan jiwa. 

Sumber  FB: Jesus love

Dr. Julianto Simanjuntak 
IG @Julianto_Simanjuntak 
Penulis Buku MERAWAT KESEHATAN MENTAL KELUARGA 

LEMBAGA KONSELING KELUARGA KREATIF (LK3) 

Postingan populer dari blog ini

BAMAG Gresik Bersinergi Dengan Pemerintah Bangun Kerukunan Umat Beragama

Teguran Yang Membangun

Ketuhanan Yesus sama sekali bukan hasil dari pemaksaan kaisar